Sunday, December 8, 2013

[ONESHOOT - GS] LOVE JOURNAL || YEOLMIN || GENDERSWITCH

Author :
Mblobyblo (@Kiraaa_chan)
Cast :
Park Chanyeol
Kim Minseok
Support Cast :
Do Kyungsoo
Choi Jinri—Sulli
Kim Jongin—Kai
Genre :
Romance, Fluff (?)
Rating :
PG-15
Summary :
Ia tidak perlu rangkaian puisi, dekorasi lampu di taman, atau ciuman. Hanya sebuah pelukan hangat Park Chanyeol, dan sebucket krisan putih. Itu sudah lebih dari cukup.
ALUR KECEPETAN! OOC! FEM!XIU-SOO! DLDR! TYPO(S)
=KOTAK NYOCOT=
It’s my first ChanMin~ :D
Hahaha, berasa banget mengkhianati ChanBaek-_- but, it’s okay .. *ChanBaek shipper&Baekhyun siap-siap bunuh author*
So, tanpa banyak bacot, nyocot, dan cocot
Check this Out!! ^^
.
.
.
It’s ChanMin GS fic
.
.
.
Don’t like? Don’t read!
.
.
.
Backsound : K.Will – Love Blossom
.
.
.
«CHANMIN || LOVE JOURNAL || GS«
©Mblobyblo
.
.
.
.
[Normal POV]
You have got 1 e-mail!
From (CC) : Princess Kim
Subject : -
Good morning, Prince Park!^^~ Have a nice day! :P
          Prince Park—alias Park Chanyeol—tersenyum setelah membaca sebuah e-mail baru yang masuk ke aplikasi push e-mail yang baru dipasangnya dua minggu yang lalu. Sebuah e-mail dari seseorang yang selama beberapa minggu terakhir dekat dengannya, sekalipun lewat e-mail, dengan nama account Princess Kim.
To (CC) : Princess Kim
Subject : -
Good morning too, Princess Kim! :D You must have a nice day too :P
          Selesai mengirim e-mail, Chanyeol meletakkan ponselnya diatas nakas dan mempersiapkan dirinya pergi ke sekolah.
¨CHANMIN¨
.
.
.
          Seorang yeoja berambut panjang bergelombang sepunggung yang diikat ekor kuda sedang berlari terburu-buru di sebuah trotoar di kawasan Myeongdong-gu, Seoul. Sesekali ia meniup-niup poninya yang jatuh menutupi mata saking terburu-burunya ia berlari. Namanya Kim Minseok, jika kau ingin tahu.
          Gara-gara kebodohannya sendiri—tertidur pukul empat pagi karena mengerjakan proposal yang akan diserahkan ke OSIS—ia harus terima bangun pukul setengah delapan, dan dalam waktu setengah jam, ia harus ada di sekolah jika ingin daftar ketidakterlambatannya tercoreng.
          “Argh, sial!” ia mengumpat kecil begitu mendapati tali sepatunya yang berwarna turquoise terlepas, sementara jarak sekolah hanya tersisa sepuluh meter. Ia melirik jam tangannya, kurang tiga menit sebelum bel masuk.
          “Aish, jinjja!” ia jongkok sedikit, lalu membenarkan tali sepatunya hingga terikat kuat. Setelah itu, ia kembali berlari sekencang mungkin menuju sekolah.
          Dan, setelah jarak tiga meter, ia memelankan langkahnya. Tercoreng sudah daftar ketidakterlambatannya di sekolah ini. Tiga tahun, ia berusaha untuk menyempurnakannya. Dan dengan datangnya hari ini, rusak sudah segala kerja kerasnya. Harusnya ia menghidupkan alarm kemarin!
          “Nama,” suara Kris, ketua divdis OSIS, terdengar begitu dingin ditelinga Minseok. Ia menelan ludahnya berat sebelum menjawab.
          “K-kim. Kim M-minseok,” jawabnya dengan suara bergetar. Hah, dia benar-benar ingin menangis sekarang!
          “Kelas,” suara itu turun beberapa nada sehingga terdengar lebih dalam dan mengerikan. Minseok menghela nafasnya sebentar, lalu berusaha tenang.
          “3-3” jawabnya (sedikit) lebih tenang. Kris sibuk sendiri dengan catatannya, tanpa memandang Minseok sedikitpun.
          “Kenapa terlambat?” tanyanya. Minseok berpikir keras, masa dia harus menjawab, karena membuat proposal untuk dikumpulkan ke ketua OSIS? Nanti, Kris pasti akan mengomel.
          “Telat tidur”
          “Kenapa telat tidur?”
          “M-menonton d-drama,” jawabnya tergagap. Semoga kebohongannya kali ini tidak berefek besar pada apapun yang akan terjadi hari ini.
          “Baiklah. Jangan terlambat lain kali!” Kris berkata dengan nada kesal, mungkin efek meladeni murid sebelumnya yang memang banyak. Ia mengarahkan dagunya kearah belakang, mengisyaratkan Minseok untuk masuk.
          Selama perjalanan ke kelasnya, Minseok selalu memandang kebawah. Menekuri sepatunya yang berjalan setapak demi setapak menuju kelas. Sesekali menghela nafas, sungguh, ia merasa benar-benar sial kali ini.
BRUK!
          “Ah!” ia memekik kecil ketika bokongnya mendarat tepat di lantai. Sambil mengusap-usap bagian yang sakit pada bokongnya—dan sedikit meringis—ia melihat orang yang menabrak (atau ditabrak?) olehnya.
HUGH
          Ia nyaris berhenti bernafas begitu tahu siapa yang ditabraknya. Seorang kingka sekolah, Park Chanyeol. Seseorang yang selama ini disukainya, sejak pertama kali melihatnya saat MOS—dimana Minseok bertugas sebagai petugas PMR. Apalagi, semenjak tahu Chanyeol suka bermain gitar dan basket. Diantara sekian ratus orang disekolahnya yang menyukai Chanyeol, ia mungkin salah satu diantara mereka yang diam-diam menyukainya.
          “Jwaesonghamnida! Jwaesonghamnida, Chanyeol-ssi!” Minseok bangkit dan membungkuk berulang kali didepan Chanyeol yang masih terduduk di lantai dengan beberapa bukunya yang berantakan.
          “Heuh, ne, gwaenchana,” Chanyeol tampak lesu. Minseok tidak suka melihatnya, jadi, sebagai penghiburan (walau ia tidak tahu itu bekerja atau tidak) ia mengambil seluruh buku Chanyeol yang berserakan dan menumpuknya, lalu memberikannya pada Chanyeol.
          “Gomapta, Minseok-ssi!” ucap Chanyeol setelah melihat name-tag Minseok yang ada pada jas seragamnya. Minseok merona sedikit, lalu mengangguk canggung. Begitu ingat, mungkin Son-seonsaengnim sudah memulai pelajarannya, ia buru-buru berlari. Meninggalkan Chanyeol, dan sebuah.... jurnal biru?
          “Ini, milik siapa?” tanya Chanyeol menaruh tumpukan bukunya di lantai dan berjongkok dihadapan sebuah jurnal biru bergambar menara Eiffel dan sebuah puisi singkat dalam bahasa Perancis yang ia tidak mengerti.
          Chanyeol memutuskan untuk membuka halaman pertamanya, dimana satu lembar penuh terisi oleh biodata si pemilik yang ditulis dengan gliter berwarna hijau tosca—sesuai dugaannya.
Nama : Kim Minseok
Tanggal lahir : 26 Maret 1990
Alamat : Jalan xxx no. 13, Myeongdong-gu, Seoul
Nomor telepon : +8256238967xxx
Note : Jika menemukan buku ini, harap dikembalikan ke alamat pemilik^^~
          Dilarang membuka jurnal ini tanpa seijin pemilik!
          Chanyeol tersenyum, mungkin bisa saja ia menyusul Minseok ke kelasnya dan mengembalikan jurnal itu sekarang juga. Tapi ia rasa, ia harus memuaskan rasa penasaran yang ada dalam benaknya dulu.
Kiraaa_chan
.
.
.
          “Ya Tuhan! Dimana jurnal-ku?” dengan suara pelan, Minseok berkata sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Ia sekarang berada didalam kelas Son-seonsaengnim, setelah beruntungnya ia tidak dimarahi. Raut wajahnya tampak panik, apalagi setelah mengetahui jurnal rahasianya hilang.
          “Minseok-a, waeyo?” Kyungsoo, teman yang duduk di bangku sebelahnya, bertanya dengan suara pelan, setelah menyadari kepanikan Minseok yang tidak biasanya.
          “Jurnalku hilang, Kyungsoo-ya. Bagaimana ini?” Minseok rasanya ingin menangis lagi. Ia belum siap jika seluruh rahasianya yang ada di jurnal itu terbongkar, apalagi ditangan orang-orang bermulut ‘ember’.
          “Apa sebelumnya kau terjatuh?” Minseok mengangguk.
          “Mungkin jatuh ditempat kau jatuh tadi,”
DEG!
          Perkataan Kyungsoo membuatnya terkejut. Jika benar jatuh ditempatnya jatuh tadi, berarti......

Jangan sampai!—batinya takut.
_woogyuzizi_
.
.
.
          Sementara Chanyeol tampak tak fokus dengan pelajaran Ahn-seonsaengnim hari itu. Tatapannya terus memandang ke bawah, tepatnya ke jurnal biru langit yang dipegangnya, dan disembunyikan di lokernya. Ia tengah sibuk membaca jurnal itu.
Seoul, 30 April 20xx
Hari ini, dia tampak tampan dengan kostum baru tim basket. Wah, semua yeoja meneriakkan namanya dengan kencang! Kecuali aku. Yeah, mana punya keberanian aku meneriakki namanya yang indah itu. Sekalipun begitu, aku tetap mencintainya! ^^
Seoul, 02 Juni 20xx
Betapa kejamnya Kwon-seonsaengnim! Dia menghukumku menata buku tahunan di perpustakaan karena aku sibuk sendiri dengan ponselku. Harusnya dia tahu, aku sedang membalas e-mail saudaraku yang ada di Mokpo. Ugh! Aku ingin membunuhnya!
          Chanyeol terkekeh. Membayangkan, siapa namja yang dimaksud sunbae-nya itu dalam jurnalnya. Minseok—begitu namanya—hanya menyebut namja itu dengan kata ‘dia’, tanpa ada inisial. Kata-kata tim basket menjadi satu-satunya kata kunci baginya.
          Tim inti basket yang menjadi kingka hanya empat. Dirinya, Kris, Kai, dan Sehun. Pasti salah satu diantara kami, pikirnya. Lalu, ia kembali melanjutkan kegiatan membacanya ke halaman berikutnya.
Seoul, 03 Juni 20xx
Hari ini dia tampak murung. Ada apa? Biasanya ia adalah orang yang paling ceria dan cerah, seperti bunga matahari. Tapi hari ini, ia tampak tidak bersemangat. Apakah dia sakit? Sungguh, aku khawatir. Bahkan dari kejauhan-pun, aku masih dapat melihat kantung matanya yang menghitam. Waeyo, Prince?
DEG!
          T-tunggu! Tunggu dulu! Apa kata terakhirnya? Prince? Dari empat kingka sekolah—yang semua merupakan anggota tim basket—hanya Chanyeol dan Kris-lah yang memiliki nicknamePrince’. Satu lagi petunjuk lain, perlahan ia menemukan titik terang.
          Selain itu, pada saat hari yang sama—sekitar tanggal dua dan tiga Juni—seingat Chanyeol, saat itu dia sedang stress karena baru saja putus dengan kekasihnya semenjak SMP, Byun Baekhyun, karena yeoja itu harus pindah ke London. Mengikuti appa-nya yang dipindah-tugaskan.
          “PARK CHANYEOL!” suara Ahn-seonsaengnim mengejutkannya. Ia buru-buru menutup jurnal biru itu dan menelusupkannya ke bagian terdalam loker mejanya.
          “N-ne, seonsaengnim?” tatapan Ahn-seonsaengnim begitu tajam. Chanyeol menelan ludahnya kasar.
          “Perhatikan pelajaranku, atau KELUAR DARI KELAS!” Chanyeol hanya mampu mengangguk dan segera memperhatikan pelajaran.
Kiraaa_chan
.
.
.
          Jam istirahat sudah berlalu sepuluh menit, namun makanan di nampan Minseok masih berkurang seperlima-nya. Wajahnya murung, dan ia tampak tak berselera makan. Berulang kali, ia hanya mengaduk-aduk cream soup-nya, atau meminum melon juice-nya sedikit.
          “Minseok-eonnie, waeyo?” ah, itu suara Choi Jinri, atau sering dipanggil Sulli, adik kelas kesayangannya.Orang yang semenjak ia masuk ke sekolah ini menjadi teman curhat Minseok.
          “Jinri-ya, jurnalku hilang. Aku tidak tahu dimana jatuhnya. Bagaimana ini? Kau tahu kan, isinya rahasiaku semua?” adu Minseok. Suaranya terdengar putus asa.
          “Mwo? Bagaimana bisa, eonnie?” Minseok hanya menggeleng. Ia sudah panik, bingung, dan ah! Semua rasa itu bercampur dan berputar-putar dalam benaknya.
          “Sabar ya, eonnie. Jurnal itu pasti segera ketemu kok, pasti!”
          Minseok berharap ucapan Jinri kali ini benar-benar manjur. Ia berusaha tersenyum, berharap perasaannya lebih baik.
Kiraaa_chan
.
.
.
          Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, tapi Minseok masih belum beranjak dari posisinya. Ia memandang keluar kelas—lewat jendela, dimana berhadapan langsung dengan lapangan basket milik sekolah.
          Tim basket sedang berlatih keras untuk persiapan lomba melawan sekolah dari distrik sebelah dua minggu lagi. Terkadang, Minseok harus rela pulang sore hanya demi menonton latihan itu selama tiga jam penuh. Ah, bukan, bukan menonton latihan itu benar-benar, tapi hanya menatap salah seorang dari mereka. Park Chanyeol.
          Ketika sore sudah tiba, harusnya Minseok sudah dalam perjalanan pulang. Tapi rupanya, latihan itu belum usai. Jung-seonsaengnim memang ketat dalam melatih, mungkin mereka akan latihan sampai agak larut. Begitupun Minseok yang harus ikut-ikutan pulang larut meskipun ia tidak ikut berlatih. Mengabaikan setumpuk pekerjaan rumah yang sudah siap dikerjakan begitu ia tiba di rumah.
          Tiga jam, dan Minseok mulai bosan. Ia berjalan kearah tempat duduknya, mengambil sebotol air minum, lalu meminumnya, sebelum ia kembali ke posisi semulanya—berdiri didekat jendela. Ia berpikir, lalu mulai menyanyi untuk menghilangkan rasa bosannya.
          “Heart.. beats.. fast. Colors.. and promises. How to be brave, how can I love, when I’m afraid.. to fall..” Minseok hanya bernyanyi dalam suara pelan, namun suaranya yang jernih terdengar begitu jelas, menggaung ke seluruh penjuru kelas.
          “But watching you stand.. alone. All of my doubt, suddenly goes away.. somehow~” ia memejamkan mata, tanpa mengetahui bahwa latihan basket telah usai dan anggota tim-nya sudah pulang.
          “One step.. closer
          “I have die every day, waiting for you.. darling don’t be afraid, I have love you, for a thousand years.. I love you for a thousand more~
          “D-dangsineun nuguya?” suara dibelakangnya membuatnya membuka mata dan buru-buru membalikkan badan. Didepan pintu kelasnya, sudah berdiri seorang Park Chanyeol, dengan bola basket di tangan dan sebuah buku jurnal... tunggu! Itu jurnalnya! Jurnal Minseok!
          “J-jurnalku!” Minseok meneteskan air mata begitu melihat jurnalnya lagi. Ia tidak berharap jika jurnal itu ditemukan oleh petugas kebersihan dan akhirnya dibakar atau dibuang ke TPA.
          Dengan langkah berderap, Minseok berjalan kearah Chanyeol. Dan begitu mereka berhadapan, ia segera merebut jurnal biru itu dan berbalik, mengambil tasnya dan pergi keluar kelas tanpa mempedulikan adanya Chanyeol. Ia benci. Harusnya Chanyeol segera mengembalikan jurnal itu padanya, bukan malah menyimpannya.
          “T-tunggu!” ia berhenti begitu mendengar suara Chanyeol dibelakangnya. Ia menunggu Chanyeol mengucapkan kalimatnya, selama satu menit. Ia baru akan melangkah ketika Chanyeol bersuara,
          “Siapa yang kau maksud dengan ‘Prince’ dalam jurnal itu?”
DEG!
          Jadi, Chanyeol membacanya? Bagaimana ia harusnya sekarang menjawab? Apakah ia harus jujur? Atau berbohong?
          “Kau” belum sempat Chanyeol sadar dan ngeh dengan jawaban yang Minseok berikan, Minseok sudah menghilang di tikungan koridor.
¨CHANMIN¨
.
.
.
          Minseok tidak peduli dengan panggilan ibu-nya untuk makan malam, atau suara ponselnya yang bordering terus-menerus, menandakan ada telefon masuk—sekaligus e-mail masuk. Ia hanya menangis diatas kasur queen size bersampul biru langit bermotif menara Eiffel miliknya.
          Ia terlalu takut. Takut jika setelah ini, Chanyeol akan membencinya, atau yang lebih parah, menjauhinya secara terang-terangan. Ia terlalu bodoh sekarang. Kenapa dari dulu, ia tidak jujur saja? Tentang dirinya, identitas aslinya?
          Dialah yang memiliki account e-mail Princess Kim. Orang yang selama ini dekat dengan Chanyeol, dia orangnya. Tanpa sekalipun Chanyeol mengenalnya, tapi ia mengenal Chanyeol. Dia yang diam-diam memperhatikan Chanyeol dari jauh, tanpa berani mendekatinya untuk (sekedar) berteman.
          Ketika suara dering telfon membuatnya muak, ia mengambil ponselnya secara serampangan dan melihat kelayarnya.
Sebuah nomor tidak dikenal.
PIP!
          “Yeoboseyo?” sapanya.
          “Yeoboseyo? Benarkah ini Kim Minseok?”
Ia memutuskan panggilan itu. Ia tahu benar suara siapa tadi. Suara Park Chanyeol. Dengan segera, ia mencopot baterai ponselnya, mencabut kartu SIM-nya dan mematahkannya.
¨CHANMIN¨
.
.
.
[Chanyeol’s Side]
          “Argh!” Chanyeol membanting ponselnya ke kasurnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Kim Minseok yang memutuskan panggilannya, Princess Kim yang tidak membalas e-mailnya.
Tunggu!
          Kim-Min-Seok? Princess-KIM? Kenapa Chanyeol merasa kedua nama itu ada hubungannya? Apakah Kim Minseok, pemilik asli account Princess Kim yang selama ini dekat dengannya?
          Ia mengambil lagi ponselnya, lalu mengecek lagi alamat biasanya ia mengirim e-mail pada Princess Kim.
          Jadi, selama ini, ia berhubungan dengan Kim Minseok? Sunbae-nya sendiri? Dan ia juga menyukainya (jujur, Chanyeol menyukai kepribadian Princess Kim—Minseok)? Benarkah? Tapi, setelah insiden jurnal tadi, masihkah Minseok bisa memaafkannya?

Ia ragu
¨CHANMIN¨
.
.
.
          Semenjak kejadian itu, Minseok selalu mengurung dirinya didalam kelas. Ia meminta ibunya untuk membawakannya bekal, sehingga ia tidak perlu ke kantin—dan bertemu Chanyeol. Terkadang, di istirahat kedua, ia pergi ke perpustakaan dan bersembunyi di meja paling ujung—untuk menghindari Chanyeol yang datang ke kelasnya (begitu kata Kyungsoo).
          Dalam waktu dekat, ia akan menghadapi ujian masuk universitas. Pikiran dan tenaganya sudah terkuras untuk belajar, belajar, dan belajar. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan permasalahan yang lain. Termasuk soal Park Chanyeol.
          Sore ini, ia dan Kyungsoo memutuskan untuk pulang larut, guna membahas materi trigonometri yang (ternyata) masuk sebagai bahan ujian. Mau tak mau, Minseok harus bertahan di sekolah untuk meminta penjelasan lebih detail pada Kyungsoo—yang lebih mengerti tentang matematika.
          Sembari menunggu Kyungsoo kembali dari acara rutin klub jurnalistik, Minseok memandang keluar jendela, seperti kebiasaannya dulu, yang kini tak pernah lagi dilakukannya. Disana, tim basket masih tetap berlatih. Tatapannya tertuju pada seseorang diantara mereka, Park Chanyeol. Yang sedang sibuk men-dribble bola.
          “I have die, everyday waiting for you. Darling, don’t be afraid, I have love you. For a thousand years, I love you a thousand more~” ia kembali menyenandungkan lagu A Thousand Years milik Christina Perri. Lagu yang selalu bisa mewakili perasaannya pada Chanyeol, seperti apapun itu.
          “And all alone, I believe, I have found you. Time has brought, your love to me. And I have love you, for a thousand years. I love you for a thousand more...
          Ketika Chanyeol menolehkan kepalanya, dan ia mendapati Minseok sedang berdiri dibalik jendela sembari menatapnya. Dalam beberapa detik, pandangan mereka terkunci, tanpa mampu beralih. Panggilan Jung-seonsaengnim diabaikannya, ia ingin menikmati momen ini, sebentar saja.
          Ketika Minseok membalikkan badannya dan menghilang dari pandangan Chanyeol, ia tahu, bahwa ia tidak bisa melihat kedalam mata itu lagi.
Kiraaa_chan
.
.
.
          Hari ujian telah tiba, dan Minseok merasa berdebar menghadapinya. Kyungsoo tampak sibuk mengobrol dengan Kai, yang (ternyata) kekasihnya. Minseok mendengus iri, ketika melihat mereka berdua berpelukan dan Kai membisikkan kata ‘Fighting!’ dengan lembut ke telinga Kyungsoo.
          Minseok mengalihkan pandangannya dan memilih menyibukkan diri dengan buku ditangannya. Sesekali, ia menengadahkan kepalanya, menatap langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih menggulung yang berlayar pelan menyusuri langit.
          “Eonnie!” suara itu membuatnya menoleh, lalu mendapati Jinri berlari dan melambai kearahnya. Ia balas melambai, lalu tersenyum manis.
          “Kau harus lulus eonnie! Eonnie pasti bisa! Fighting!” sekalipun ia iri pada kemesraan Kai-Kyungsoo, sepertinya suntikan semangat dari ibunya dan Jinri sudah lebih dari cukup.
Kiraaa_chan
.
.
.
          Minseok tersenyum senang begitu mendapati namanya ada di daftar peserta yang lolos ujian. Begitupun Kyungsoo yang tampak sedang menelfon ibunya. Setelah itu, mereka berpelukan dan high-five beberapa kali.
          “Oh ya, apa besok kau datang ke hari perayaan kelulusan?” tanya Kyungsoo.
          “Dimana? Sepertinya hanya aku yang belum tahu acaranya,” mereka terkekeh.
          “Di sekolah. Memakai hanbok. Kau harus ikut, Minseok-a! Itu hari terakhir kita ada di sekolah, sebelum kita benar-benar lulus!” ujar Kyungsoo bersemangat. Minseok tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk.
          “Baiklah, aku akan datang. Kita bertemu di kelas, ya!” Kyungsoo mengangguk.
Kiraaa_chan
.
.
.
          Minseok tiba di sekolah pukul sembilan, lengkap dengan hanbok berwarna biru laut-putih. Rambutnya yang cokelat bergelombang sepinggang tampak diikat kesamping, menyisakan poninya. Sembari berjalan masuk, ia menelfon Kyungsoo yang belum tiba.
          “Yeoboseyo? Kyungsoo-ya? Kau sampai mana?”
          “Ah, Minseok-a. Mungkin aku sampai sepuluh menit lagi. Kau masuk duluan saja!”
          “Baiklah”
PIP
          Minseok menyusuri halaman sekolahnya perlahan, berusaha meresapi hawa yang sudah akrab dengannya selama tiga tahun. Ia takut merindukannya nanti ketika di universitas, karena ia tidak mungkin kemari lagi.
          Koridor, tempat yang dulu dianggapnya tidak terlalu bermakna. Kini mungkin tampak begitu bersejarah baginya. Tempat pertama yang ia hafal ketika ia masuk ke sekolah ini, sekaligus tempat....

Ia bertemu Chanyeol
          Ia tidak ingin mengingat masa lalu, jadi, ia mempercepat langkahnya. Ketika sampai di kelasnya, ia ingin menangis. Kelas itu sudah dihias dengan renda-renda dan pita-pita sehingga tampak meriah. Papan tulisnya sudah ditulisi sebuah kalimat,
LULUS BUKAN BERARTI MELUPAKAN MASA LALU PALING INDAH YANG SUDAH DIALAMI SELAMA DISINI! KAMI AKAN SELALU MENGINGAT SEMUANYA! SARANGHAE! 3-3
          Ia menyusuri kelas itu perlahan. Ia berhenti didepan mading kelasnya yang memajang setiap kejadian ‘penting’ yang terjadi diantara mereka. Mulai dari ketika hari jadi sekolah, peringatan Chuseok, hari kemerdekaan, bahkan sampai ketika keributan mereka ketika Jeon-seonsaengnim tidak masuk (Jeon-seonsaengnim dikenal killer di kalangan anak kelas 3).
          Langkah Minseok terhenti ketika ia sampai di depan jendela. Jendela tempat (dulu) ia memandang Chanyeol yang bermain basket, dari kejauhan. Tempat yang menjadi saksi acara ‘Waiting-For-Chanyeol’ yang dijalaninya. Ia pasti akan merindukan saat-saat itu, dengan—
“Minseok-noona~” suara itu membuat Minseok berhenti bernafas, sekaligus membuat tenggorokannya tercekat. Ia terlalu takut untuk menoleh, apalagi membalikkan badan.
“Minseok-noona” suara itu lagi, dan Minseok mulai merasakan dadanya berdebar tak karuan. Ia menghela nafas, lalu bersiap berbalik. Dan—

Dia disana.

Chanyeol disana.

          Ia mengenakan stelan tuxedo berwarna hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang membalut kemeja putihnya. Rambut kecokelatannya ditata naik, serupa ombak yang siap menghantam pantai.
          Mata mereka bertemu dan terkunci lagi, membuat segala di sekeliling mereka berpendar, menjadi sebuah ruang putih bercahaya. Seolah mereka tidak ingin beralih, apalagi beranjak. Suasana itu terlalu indah dan terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
          Ketika Minseok berkedip, suasana berpendar itu hilang. Ia melangkah, selangkah demi selangkah, seperti slow-motion. Chanyeol merasakan ia akan pingsan begitu melihat Minseok yang hari itu begitu... cantik.
          “Selamat atas kelulusanmu, noona~” kata Chanyeol sambil memberikan bucket bunga krisan putih pada Minseok. Minseok menerimanya dengan pipi merona sedikit, lalu tersenyum.
          “Terima kasih”
          Sejenak, suasana menjadi hening. Minseok tidak tahu, kemana rasa bencinya pada Chanyeol ketika mengingat masalah jurnal biru itu. Semuanya seolah hilang entah kemana.
          “Noona,” Minseok mendongak.
          “Ne?” Chanyeol terdiam lagi.
          “Aku minta maaf soal jurnal biru-mu waktu itu. Aku tidak bermaksud untuk membongkar rahasia-mu. Ah, bagaimana yah—”
          “Tidak apa, aku mengerti.” Chanyeol terkejut. Tapi akhirnya, ia tersenyum selebar mungkin dan menerjang Minseok. Membuat bucket bunga dalam genggamannya terjatuh.
          “Aku bukan orang yang romantis seperti Kai, tapi—” Minseok menahan nafasnya. Dada Chanyeol yang menempel langsung pada pipinya terasa hangat, ia bahkan merasakan debar jantung namja itu. Pelukan itu terasa nyaman.
          “Saranghae,” Minseok merasakan ketika Chanyeol mengusap puncak kepalanya dengan pelan. Sambil mengucapkan kata ‘saranghae’ dengan lembut, ditemani sebuah pelukan hangat. Perlahan, Minseok mengangkat tangannya, dan mengusap punggung lebar Chanyeol.
          “Nado. Nado saranghae,” ucap Minseok sambil membenamkan wajahnya ke dada Chanyeol.
          Cukup dengan pelukan hangat seorang Park Chanyeol, hatinya akan luluh. Ia tidak perlu rangkaian puisi, dekorasi lampu di taman, atau ciuman. Hanya sebuah pelukan hangat Park Chanyeol, dan sebucket krisan putih. Itu sudah lebih dari cukup.
«FIN«
=KOTAK NYOCOT=
Ugh! I didn’t make a good fluff. So sorry if the ending so bad~ >_<
Apakah ChanMin-nya memuaskan? Belum? Okeh, mungkin lain kali di-revisi. (kalo enggak lupa :D)
Mind to review? :)

Salam heaven :))

Saturday, November 30, 2013

[ONESHOOT - YAOI] DUA KELOPAK KRISAN (HUNHAN)

AUTHOR :
Mblobyblo (@Kiraaa_chan)
CAST :
Oh Sehoon
Xi Luhan
GENRE :
Sad-Romance (maybe?)
RATING :
G
SUMARRY :
Perlahan, kau menghindar dan pergi. Membiarkan cinta yang tak pernah kau ungkapkan itu menguap. Gugur dan hilang tak berbekas. Seperti kelopak-kelopak krisan yang layu dihatiku .......
=KOTAK NYOCOT=
Hmm, maybe it’s my first Fanfic for HunHan~ :)
Terinspirasi dari salah satu puisi karya saya sendiri, yang inspirasinya juga datang dari salah satu fiksi dalam majalah ‘Story’ dengan judul sama; Dua Kelopak Krisan.
Oke,
Check this Out!! ^^
.
.
.
It’s BL Fic
.
.
.
Don’t like? Don’t read!
.
.
.
«HUNHAN || DUA KELOPAK KRISAN || BL«
©Mblobyblo
.
.
.
.
[LUHAN’S POV]
Rintik hujan yang turun serupa denting jam,
Menemani kita dalam menyusuri deretan pohon ek yang berjajar,
Gagah, seolah memberi hormat, layaknya seorang prajurit
Dan kita adalah ratu dan rajanya
.
.
.
          Harusnya aku sudah ada di kamar, mengerjakan essay-ku yang akan dikumpulkan besok, ditemani segelas coffee latte hangat—ditengah hujan seperti ini, apalagi. Salahkan guru sialan (ups! Maaf) yang membuatku harus tertahan sampai larut malam hanya demi dua jam pelajaran tambahan. Ukh! Aku benci pelajaran tambahan! (sepertinya kalian tak mau tahu juga kan?)
          Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Yeah~ tidak sendirian juga, sih. Toh, tidak mungkin aku pulang larut malam seperti ini. Sebagai seorang pria cantik—begitu kata Jongdae—aku tidak baik pulang larut malam sendirian. Aku diperlakukan seperti seorang yeoja, selalu.
          Maka dari itu, entah keberuntungan apa yang berpihak padaku, hingga aku ditemani seorang seme untuk pulang. Dia Oh Sehoon, adik kelasku yang memiliki pokerface, tapi tetap tampan. Kami dalam perjalanan menuju rumahku sekarang. Yah, mungkin dalam beberapa ratus meter, kami sudah sampai.
          Jajaran pohon ek disamping kiri dan kanan tampak begitu gagah. Seperti prajurit-prajurit kerajaan yang menghormat pada raja dan ratunya. Bahkan ditengah hujan seperti ini-pun, mereka tetap nampak gagah.
          Memikirkan tentang kami raja dan ratunya, aku kembali teringat kata-kata Jongin—teman Sehun, yang juga temanku di klub dance—bahwa Sehun menyukai-ku. Aku hanya berkata; ‘Berhentilah bercanda, Kim Jongin!’ dan berlalu tanpa benar-benar berpikir itu serius.
          Itu terjadi sebelum Zitao dan Baekhyun, dua teman Sehun yang lain, juga berkata demikian padaku, ketika kami tak sengaja bertemu di suatu siang. Kupikir mereka bercanda, tapi setelah melihat raut mereka yang sungguh-sungguh, aku berpikir bahwa yang mereka katakana adalah benar.
          Hanya saja... semua orang tahu bahwa sekarang aku adalah kekasih Kris, ketua tim basket, murid tingkat tiga. Aku berpikir bahwa Sehun akan menyerah dan (mungkin) mencari orang lain.
          Nyatanya..... aku salah besar.

Ia tak pernah menyerah, sama sekali.
_Mblobyblo_
Kau, memayungiku dengan payung transparan milikmu
Dan kau biarkan dirimu terhujam oleh rintik air sulfat yang jatuh,
Aku laksana bunga snowdrop yang rapuh,
Dan kau adalah salju yang menaungi-ku
.
.
.
          Kami berjalan dalam keheningan yang canggung. Tangan kirinya masih terus setia memayungiku dengan payung transparan miliknya. Aku merasa tersanjung, sungguh. Kris tak pernah melakukan itu padaku, bahkan tadi dia meninggalkanku untuk pergi ke rumah temannya, daripada mengantarku pulang. Ah, tidak penting. Aku sedang sebal dengannya, dan aku tak ingin membicarakan apapun lagi dengannya.
          Aku tak enak hati melihat Sehun yang kehujanan, sementara aku kering-kering saja karena tertutup payungnya. Dia nampak begitu melindungiku, seolah aku ini bunga snowdrop, dan dia adalah rintik-rintik salju yang menaungi diriku.
          Dan memikirkannya membuatku (lagi-lagi) tersanjung.
_Mblobyblo_
Kau, adalah pelabuhan
Yang sangat mudah untuk kuraih
Sementara dia, adalah menara
Begitu tinggi, dan sulit untuk kujangkau
.
.
.
          Fantasi liarku mulai bermain. Dengan membandingkan seorang Oh Sehoon dan Kris Wu, kekasihku sendiri. Mungkin, jika Sehoon adalah pelabuhan, maka Kris adalah menara.
Sehun, jelas-jelas begitu mudah untuk kugapai dan kumiliki. Aku tak perlu terlalu muluk-muluk, dia akan datang dan memberikan dirinya untukku, tanpa perlu diminta.
Kris, jelas-jelas begitu sulit unuk kugapai dan kumiliki. Yah, walaupun sekarang aku adalah kekasihnya, bukankah tidak menutup kemungkinan aku mudah disingkirkan? Selain diriku juga kan, masih banyak pria cantik lain di sekolah. Apalagi untuk pria player seperti Kris, bukankah dia mudah bosan?
Aku tetap tak mengerti diriku sendiri.
_Mblobyblo_
Tapi, pada kenyataan,
Akulah yang terlalu bodoh
Aku terlalu berharap pada sang menara,
Berulang kali aku memanjat, sebanyak itu-lah aku terjatuh
.
.
.
Dan aku, yang dengan bodohnya memilih memanjat menara dengan susah payah daripada harus memilih pelabuhan yang berbaik hati menyerahkan segala miliknya untukku. Ya, aku memang bodoh. Mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak benar-benar mencintaiku.
Aku-lah yang terlalu banyak berharap pada Kris, padahal ia juga tidak pernah memberi harapan yang nyata padaku. Aku yang terlalu banyak bermimpi, berandai-andai bahwa hubungan kami akan bertahan sampai kami menikah kelak. Cih, omong kosong.
Karena se-khayal apapun aku berandai-andai, aku tak akan pernah bisa meluluhkan hati seorang player seperti Kris Wu. Berulang kali aku mencoba, sebanyak itu-lah aku gagal. Bodoh, kau boleh mengatakan kata itu beratus-ratus kali padaku.
Itu memang kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan.
_Mblobyblo_
Aku tak pernah melihatmu, yang selalu ada disisiku
Seolah kau adalah payung transparan,
Menaungi-ku, menjagaku dari rintik hujan,  
Tapi kau tak pernah benar-benar nampak dimataku
.
.
.
          Rasa bersalah mulai memenuhi ruang hatiku ketika aku menyadari, bahwa selama ini, Sehun-lah yang sedikit-banyak menolongku. Dia yang ada saat aku butuh bantuan, butuh tempat mencurahkan kekesalanku terhadap Kris—oh, namja itu lagi—, dan masih banyak lagi. Tapi aku tak pernah menempatkan dirinya di tempat teratas skala prioritasku. Entah kenapa, aku hanya ingat padanya saat aku benar-benar sendirian dan butuh teman.
          Dia seperti payung transparan yang memayungi diriku sekarang. Ia tak pernah benar-benar ada dalam pikiranku, tak nampak—bukan dalam arti sebenarnya—, tapi aku tahu bahwa dia benar-benar ada. Ia yang melindungi, yang selalu ada saat aku butuh, yang membelaku.
          “Sunbae, apa yang kau pikirkan?” berulang kali aku bilang padanya untuk memanggilku ‘hyung’, tapi ia tidak pernah melakukannya. ‘Kita kan hanya sebatas senior dan junior’ katanya setiap kusuruh memanggilku ‘hyung’.
          “Ah, bukan apa-apa” jawabku berkelit.
          Sehun, harusnya aku minta maaf. Aku terlalu bodoh untuk menganggapmu sebagai angin lalu. Sekarang, aku sendiri yang menyesal, sungguh.
_Mblobyblo_
Ayolah, aku menunggu
Nyatakan perasaanmu, dan buat aku lupa
Lupa akan dia, si menara yang menyakitiku
Dan, buat aku berpaling darinya
.
.
.
          Sehun, ayolah! Katakan perasaanmu padaku! Jangan buat aku menunggu lebih lama lagi! Jangan biarkan aku hanya mendengar kata-kata dari temanmu. Katakan dari dirimu sendiri.
          Buat aku lupa, Sehun. Kalau perlu buat aku amnesia—oh berlebihannya aku. Lupa akan dia, si menara yang dengan tega menyakitiku. Si Kris Wu bodoh yang menyia-nyiakan cintaku. Ayolah, Sehun! Buat aku berpaling darinya!
_Mblobyblo_
Dalam nyata, kau hanya diam, terus memayungi tubuhku
Sesekali bercerita, bagaimana jalan cerita hidupmu
Tanpa sekalipun mengungkit kisah cinta yang terselip didalamnya
Yang pasti ada aku disana
.
.
.
          Setelah diam dalam keheningan canggung yang lama, Sehun membuka pembicaraan kami dengan menceritakan kehidupan sehari-harinya yang menyenangkan. Bagaimana konyolnya Jongin ketika Jeon-seonsaengnim mengajar di kelas, atau keberanian Baekhyun memakai eyeliner super tebal ketika pelajaran berlangsung.
          “Oh ya, ada satu lagi. Saat pelajaran olahraga berlangsung, ketika itu materi sepak bola, kami dibagi menjadi dua tim—” sekalipun pandanganku tertuju padanya, aku tidak benar-benar memperhatikan yang dia bicarakan. Aku terlalu sibuk memandangi wajahnya (yang dengan bodohnya baru kusadari) yang tampan.
          “—Sebelum Han-seonsaengnim meniup peluit, Zitao menendang bola itu sampai nyaris terkena kepala Han-seonsaengnim. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat itu,” dan Sehun terus bercerita, sesekali mereka berdua tertawa akan kejadian-kejadian bodoh yang terjadi.
          “Bagaimana dengan kisah cintamu? Kenapa tidak cerita?” kalau pertanyaan ini, aku sengaja mempersiapkannya. Maksudku, untuk menyindir. Daritadi cerita tentang teman-temannya terus. Aku bosan.
          Sehun hanya diam, pandangannya menerawang ke langit malam yang keruh dan dipenuhi awan culumbus yang menjatuhkan bulir-bulir air sulfat ke bumi.  Ia nampak enggan menjawab pertanyaanku;
          “Entahlah,” jawabnya. Aku hanya menggumamkan kata; ‘oohh’ lalu kembali diam dan berpikir.
          Apakah dia tidak mau bercerita, karena ada aku didalamnya? Karena cerita cinta yang dianggapnya bertepuk sebelah tangan itu? Benarkah bertepuk sebelah tangan? Kenapa aku merasa sekarang—

Hatiku mulai bercabang dua?
_Mblobyblo_
“Apa ada yang lebih menyakitkan dari hidup Sisyphus?”
Kau menggeleng, tanda tidak—atau mungkin tidak tahu?—
Sisyphus, yang memiliki penderitaan paling banyak dalam hidupnya
.
.
.
          “Apakah ada yang lebih menyakitkan dari hidup Sisyphus?” tanyaku untuk memecah keheningan yang tercipta diantara kami. Sehun menoleh sebentar, lalu menggeleng. Entah karena tidak, atau tidak tahu.
          Aku tersenyum, tidak banyak memang yang tahu kisah Sisyphus. Tapi aku pernah mendengarnya dari ibu-ku. Dan aku se-sering mungkin membagikannya; pada semua orang yang kutanyai seperti Sehun tadi.
          “Sisyphus—orang yang memiliki penderitaan paling banyak dalam hidupnya,” kataku. Dia menoleh, seolah tertarik dengan pembicaraan ini.
_Mblobyblo_
Atas nama dosa dan pengorbanan,
Ia akan mendorong batu besar kepuncak gunung
Jika batu itu menggelinding, ia akan mendorongnya lagi, terus sampai akhir hayatnya
Haruskah perjuanganku seperti itu?
.
.
.
          “Siapa itu Sisyphus? Dan kenapa dia orang yang memiliki penderitaan paling banyak dalam hidupnya?” tanya Sehun setelah aku lama terdiam, tak melanjutkan ceritaku. Aku terkesiap, lalu tersenyum.
          “Konon, atas nama dosa dan pengorbanan, dia mendorong batu besar ke puncak gunung. Jika batu itu menggelinding, ia akan mendorongnya lagi, terus sampai akhir hayatnya.” Sehun hanya diam. Tapi aku tahu, dia mendengarkan dengan baik.
          “Sehun-a,” panggilku.
          “Ya, sunbaenim?” sahutnya dengan setengah suara.
          “Apakah perjuanganku harus sepertinya? Seperti Sisyphus?”

          Kau terdiam.
_Mblobyblo_
Kau hanya terdiam, tanpa berniat membalas ucapanku
Aku tahu, aku yang terlalu banyak berharap—atau menuntut?—
Ketika penerangan diujung jalan, yang kusebut rumah, mulai nampak
Aku tahu waktu-ku semakin sempit
.
.
.
          Aku menunggu jawaban Sehun selama hampir tiga menit lebih dalam diam, tapi ia tidak kunjung menyuarakan pendapatnya. Hahaha~ mungkin aku yang terlalu banyak berharap, kan? (Atau menuntut?)
          Kutatap kakiku sendiri yang terbalut sepatu snickers putih dengan garis biru di beberapa sisinya, yang kini menapak genangan-genangan air hujan. Ketika pandanganku tertuju kearah depan, dapat kulihat cahaya di ujung jalan; yang biasa kusebut rumah.
          Bagaimana lagi aku harus membuat Sehun menyatakan perasaannya padaku? Agar aku bisa melupakan Kris dan belajar mencintainya? Waktuku semakin sempit, tapi ia tak kunjung bersuara.
_Mblobyblo_
Tapak demi tapak kita lalui,
Dalam kesunyian yang tak berarti
Hingga waktu itu habis,
Didepan rumahku sendiri
.
.
.
          Kuhitung detik demi detik yang tersisa bagiku dan Sehun. Kami terdiam dalam kesunyian yang sama sekali tak berarti—bagiku. Menunggu, aku menunggu Sehun mengungkapkan perasaannya. Disisa waktu yang kami miliki ini.
DEG~
          Hingga, waktu yang tak pernah kuinginkan datang. Waktu kami (atau waktunya?) habis, tidak ada lagi yang tersisa. Tepat didepan rumahku sendiri.
_Mblobyblo_
Bahkan, belum sempat kuucapkan terima kasih
Kau sudah menutup payungmu,
Berlari kecil menghindari genang-genang air di jalan berlubang
Hingga hilang ditelan gelap malam
.
.
.
          Kami terdiam dalam keheningan beberapa saat. Rasanya begitu canggung. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu apa yang harus kulakukan. Setelah kuputar otakku, maka, aku harus mengucapkan terima kasih padanya, kan?
          “Sehun-a—” ucapanku terputus ketika secara mendadak dia menutup payungnya—yang tadi digunakan untuk melingungiku—dan mengangguk sekali sambil menatapku, tanpa senyum. Setelahnya, ia berlari kecil menghindari genangan-genangan air di jalan yang berlubang.
          Aku terus menatap punggungnya yang perlahan mulai menjauh, dan kemudian hilang ditengah kegelapan. Kuhela nafasku, berusaha menyudahi rasa sesak yang menderaku secara tiba-tiba.
_Mblobyblo_
Kau meninggalkanku,
Tanpa mengusak kepalaku,
Atau menyalami tanganku
Kau tak lagi bersikap sama
.
.
.
          Dia pergi. Sehun pergi, meninggalkanku sendirian didepan gerbang kayu sederhana rumahku. Ia tak mengusak kepalaku; seperti ketika kami menghabiskan waktu bersama. Ia juga tak menyalami tanganku; seperti saat kami akan berpisah setelah menghabiskan waktu bersama untuk mengobrol.
          Dan aku mencoba untuk kembali pada kenyataan, se-pahit apapun itu, bahwa ia tak bersikap sama lagi.
_Mblobyblo_
          Kejadian-kejadian yang barusan terjadi, berputar dengan jelas di otakku. Seperti sebuah film dokumenter yang sengaja diputar. Sehun yang diam. Sehun yang tak pernah membicarakan kisah cintanya didepanku. Sehun yang—

          Tak pernah mengungkapkan perasaannya padaku.

          Kuhela lagi nafasku yang mulai terasa berat dan menyesakkan. Aku berbalik dan membuka pintu gerbangku, lalu kembali kututup sebelum aku melangkah lebih jauh memasukki rumahku.
          Sebelum aku membuka pintu utama, aku kembali menatap kegelapan yang tadi menenggelamkan Sehun kedalamnya. Setitik air mata yang diiringi penyesalan, jatuh dari pelupuk mataku.
Kenapa
          Hanya itu yang ingin kukatakan sekarang pada Sehun. Kenapa tadi ia tidak menyatakan perasaannya, sehingga aku tak seperti ini? Kenapa ia membuatku dihantui perasaan bersalah? Kenapa—

          Ia membiarkan cintanya itu terpendam dan tak terungkap? Kenapa ia membiarkan cinta yang (ternyata) kunanti itu menguap dan hilang—bahkan sebelum aku mengetahuinya?

          Aku tahu, aku tak bisa menjawabnya.
.
.
.
Perlahan, kau menghindar dan pergi
Membiarkan cinta yang tak pernah kau ungkapkan itu menguap,
Gugur dan hilang tak berbekas,
Seperti kelopak-kelopak krisan yang layu dihatiku .......

«FIN«
=KOTAK NYOCOT=
Lalala~ yeyeye~
Ryu’s back with HunHan Fic! :)
Bagaimana dengan HunHan-fic pertama saya ini? Apakah hancur dan tidak ada feel-nya sama sekali? Okay, saya tahu itu benar-_-
Maaf kalau feel-nya gadapet, karena saya memang kurang menaruh feel didalamnya XD juga karena appa saya sakit pas saya bikin. Jadi dalam keadaan max unmood :(
Last,
Review? ^^
Salam heaven :))